close

Prinsip Kerjasama dan Penyimpangan Bahasa

blankPrinsip Kerjasama

Grice (via Rahardi, 2008: 53-58), mengemukakan  bahwa ada semacam prinsip kerjasama yang harus dilakukan pembicara dan lawan bicara agar proses komunikasi itu berjalan lancar. Dalam rangka melaksanakan prinsip kerjasama itu, setiap penutur harus mematuhi empat macam maksim percakapan yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim pelaksanaan.

Maksim Kuantitas

Maksim kuantitas mengharuskan setiap peserta memberikan kontribusi yang secukupnya. Lebih lanjut Rahardi (2008: 53) menyatakan bahwa jawaban yang diberikan oleh penutur kepada lawan tuturnya tidak boleh melebihi jawaban yang sebenarnya dibutuhkan lawan tutur. Tuturan yang tidak mengandung jawaban yang sungguh-sungguh diperlukan mitra tutur, dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas. Demikian sebaliknya, apabila tuturan itu mengandung jawaban yang berlebihan akan dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas.

Maksim Kualitas

Maksim percakapan ini mewajibkan setiap peserta percakapan mengatakan hal yang sebenarnya. Rahardi (2008: 55) menyatakan bahwa dalam komunikasi sebenarnya, penutur dan lawan tutur umumnya menggunakan tuturan dengan maksud yang tidak senyatanya dan tidak  disertai dengan bukti-bukti yang jelas. Bertutur yang terlalu langsung dan tanpa basa basi dengan disertai bukti-bukti yang jelas dan apa adanya justru akan membuat  tuturan menjadi kasar dan tidak sopan. Dengan perkataan lain, untuk bertutur yang santun, maksim kualitas ini seringkali tidak dipatuhi dan tidak dipenuhi.

Maksim Relevansi

Maksim relevansi mewajibkan  peserta percakapan memberikan Jawaban yang sesuai dengan masalah pembicaraan.  Rahardi (2008: 56) menyatakan bahwa bertutur dengan tidak memberikan kontribusi yang demikian dianggap tidak memenuhi dan melanggar maksim relevansi. Berkenaan untuk maksud-maksud tertentu, misalnya untuk menunjukkan kesantunan tuturan, ketentuan yang ada pada maksim relevansi seringkali tidak dipenuhi oleh penutur.

  √ Kajian Puisi - Unsur Pembangun dan Citraan

Maksim Pelaksanaan

Maksim pelaksanaan menghendaki setiap peserta percakapan berbicara secara runtut, langsung dan tidak berlebihan. Rahardi (2008: 57-58) menyatakan bahwa orang bertutur dengan tidak mempertimbangkan hal-hal tersebut dikatakan melanggar maksim pelaksanaan. Dalam kegiatan bertutur yang sesungguhnya pada masyarakat bahasa Indonesia, ketidakjelasan, kekaburan, dan ketidaklangsungan merupakan hal yang wajar dan umum terjadi. Pada masyarakat tutur ini, justru ketidaklangsungan merupakan salah satu kriteria kesantunan seseorang dalam bertutur.

Penyimpangan prinsip kerja sama


Wijana (2004:78) menyatakan bahwa  untuk menciptakan wacana yang wajar, komunikasi yang dibangun harus kooperatif. Dalam jenis komunikasi ini, penutur akan berbicara seinformatif mungkin, memberikan informasi dengan bukti-bukti yang memadai, memperhatikan konteks pembicaraan, memberikan tuturan yang ringkas  dan tidak taksa sehingga tidak menyesatkan lawan tutur. Jenis komunikasi ini akan gagal jika penutur dan lawan tutur tidak dapat mengontrol prinsip kerja sama percakapan itu.

Penyimpangan Maksim Kuantitas

Penyimpangan Maksim Kuantitas Wijana (2004: 79-81) menyatakan bahwa untuk memenuhi tuntutan prinsip kerja sama dalam berkomunikasi, penutur memberikan informasi sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan tutur. Di dalam wacana humor, diciptakan wacana-wacana yang melanggar maksim ini seperti memberikan kontribusi yang kurang memadai dari apa yang dibutuhkan oleh lawan tutur sehingga kelancaran komunikasi menjadi terganggu.

Penyimpangan Maksim Kualitas

 Penyimpangan maksim kualitas berarti mengatakan hal-hal yang tidak masuk akal dan sulit dibuktikan kebenarannya. Wijana (2004:  82-84) menyatakan bahwa dalam berbicara secara kooperatif, penutur dan lawan tutur harus berusaha sedemikan rupa agar mengatakan sesuatu yang sebenarnya dan berdasarkan atas bukti-bukti yang memadai. Dalam wacana humor, terjadi penyimpangan maksim kualitas dengan ahli tambang atau insinyur perminyakan.

Penyimpangan Maksim Relevansi

Wijana (2004: 84-87) menyatakan bahwa untuk mewujudkan komunikasi yang  lancar, penutur dan lawan tutur dituntut selalu relevan mengemukakan maksud dan ide-idenya. Kontribusi-kontribusi yang diberikan harus berkaitan atau sesuai dengan topik-topik yang sedang diperbincangkan. Dalam berbicara, penutur mengutarakan tuturannya sedemikian rupa sehingga tuturan itu hanya memiliki satu tafsiran yang relevan dengan konteks pembicaraan. Agar pembicaraan selalu relevan, maka penutur harus membangun konteks yang kurang lebih sama dengan konteks yang dibangun oleh lawan tuturnya. Jika tidak, penutur dan lawan tutur akan terperangkap dalam kesalahpahaman. Bila kesalahpahaman harus dihindari dalam komunikasi yang wajar, dalam wacana humor kesalahpahaman menjadi fenomena yang penting untuk menciptakan humor. Kesalahpahaman diciptakan penutur dengan salah menafsirkan konteks pembicaraan yang dibangun atau ditawarkan oleh lawan tuturnya.

  Gaya Bahasa Pertautan

Penyimpangan Maksim Pelaksanaan

Wijana (2004:  88-91) menyatakan bahwa ada beberapa hal yang harus diperhatikan penutur dalam upaya memenuhi maksim pelaksanaan. Penutur harus mengutarakan ujarannya sedemikian rupa agar mudah dipahami oleh lawan tuturnya dengan menghindari kekaburan, ketaksaan, berbicara secara padat, langsung, serta runtut. Penutur dan lawan tutur tidak dapat mengutarakan tuturannya secara kabur dan taksa karena setiap bentuk kebahasaan yang memiliki potensi untuk taksa hanya memiliki satu kemungkinan penafsiran di dalam setiap pemakaian sepanjang konteks pemakaiannya dipertimbangkan secara cermat.   Dengan demikian, penutur dan lawan tutur dapat membedakan secara serta merta tuturan yang diutarakan secara literal dengan tuturan yang bersifat metaforis (figuratif). Imbas

Leave a Comment